Monthly Archives: November 2010

SISTEMATIKA PIIL PESENGGIRI

I.Unsur Piil Pesenggiri

Ada dua sumber rumusan falsafah Piil Pesenggiri, yang pertama dari sub etnis Lampung Pepadun, yang kedua dari sub etnis Lampung Saibatin (Peminggir) tetapi kedua sumber ini sangat mudah dikompromikan, karena unsur keduanya adalah sama. Piil Pesenggiri dari sumber pertama yaitu sebagai berikut:
1.Piil Pesenggiri
2.Bejuluk Beadek
3.Nemui Nyimah
4.Nengah Nyappur
5.Sakai Sambaian

Sedangkan sumber yang kedua adalah:
1.Khepot delom mufakat
2.Tetengah tetanggah
3.Bapuidak Wayu
4.Khopkhama delom bekekhja
5.Bupiil Bupesenggiri

II.Butir-Butir Piil Pesenggiri

1.Sopan Santun

Sopan santun adalah merupakan simpul bebas dari dua unsur Piil Pesenggiri yang berbunyi Nemui Nyimah dan Bepuidak Waya. Nemui Nyimah secara etimologi adalah menghormati tamu, sedangkan Bepuidak Waya berarti bermanis muka. Keduanya digabung menjadi “sopan santun” sehingga unsure sopan santun dapat diuraikan menjadi butir-butir yang lebih detail lagi. Dalam unsur menghormati tamu, maka seseorang itu selain harus berprilaku baik, masyarakat Lampung lazimnya memberikan panganan dan minuman, sehingga yang terselubung dalam prinsip Nemui Nyimah ini juga dalah kepemilikan. Hal ini memungkinkan untuk menyuguhi tamu tersebut, dengan kata lain seseorang harus berketerampilan, berpenghasilan, dengan kata lain berproduksi. Sedangkan Bapuidak Waya bermakna sopan santun, seperti yang telah diuraikan di atas adalah keterampilan, produksi, dan penghasilan serta kepemilikan, dimaksudkan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup manusia banyak. Yaitu sebagai perwujudan dari Bapuidak Waya serta pemberi seperti yang ditentukan Piil Pesenggiri. Sebagai yang diyakini bahwa pemberi akan lebih mulia dari pada penerima. Dengan demikian sopan santun di sini selain diartikan sebagai tatakrama juga memiliki makna sosial, seperti tergambar dalam butir-butir sebagai berikut:
Berprilaku baik
Berilmu
Berketerampilan
Berpenghasilan
Berproduksi
Menjadi Pelayan Masyarakat

2.Pandai Bergaul

Pandai bergaul ini adalah merupakan simpul bebas dari Nengah Nyappur dan Tetengah Tetanggah. Kata-kata Nengah Nyappur dan Tetengah Tetanggah itu sendiri juga bermakna sanggup terjun ke gelanggang. Tentu saja bermodalkan sopan dalam arti memahami segala hak dan kewajiban. Santun dalam artian siap menjadi pihak pemberi, maka seseorang sebagaimana ditintut oleh Nengah Nyappur dan Tetengah Tetenggah, harus menjadi orang yang supel, memiliki tenggang rasa yang tinggi, tetapi tidak melupakan prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam hidupnya, sebagai identitas diri. Dengan demikian maka seseorang dituntut untuk:
Supel
Tenggang rasa
Berprinsip
Kaya ide
Bercita-cita tinggi
Mampu berkomunikasi
Mampu bersaing

3.Tolong Menolong

Tolong menolong merupakan simpul bebas dari kata-kata Sakai Sambaian dan Khepot delom mufakat. Sakai Sambaian lebih tepat diterjemahkan menjadi bersatu dan mufakat. Sehingga tolong menolong di sini mempunyai makna yang sangat luas, yaitu makna yang dituntut Piil Pesenggiri yang terkandung dalam Sakai Sambaian dan Khepot delom mufakat. Tolong menolong dalam versi Sakai Sambaian akan bermakna kerja sama yang saling menguntungkan. Sedangkan tolong menolong dalam versi Khepot delom mufakat memiliki makna yang jelas sekali untuk menjaga kesatuan dan persatuan. Dengan demikian maka berarti butir-butir menolong ini sangat luas sekali, antara lain meliputi:
Mampu menjadi pemersatu
Memiliki modal (kapital)
Memiliki sarana dan prasarana
Mampu bekerjasama
Dapat dipercaya
Mampu mengambil keuntungan

4.Kerja Keras/ Prestise

Kerja keras dan prestise merupakan terjemahan dari kata Khopkhama delom bekekhja dan bejuluk beadek. Khopkhama delom bekekhja bekerja keras dan bejuluk beadek berarti gelar atau prestise. Seseorang dituntut bekerja keras untuk mencapai hasil guna memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya maupun orang lain. Prestise-prestise yang dimaksudkan oleh bejuluk beadek adalah suatu yang otomatis didapatkan seseorang manakala seseorang itu telah mencapai hasil kerja yang maksimal.
Sehingga kerja keras dan prestasi kerja melingkupi butir-butir sebagai berikut:
Memahami kebutuhan diri dan kebutuhan masyarakat
Mampu menyerap skill pemimpin
Pantas dijadikan panutan
Berprinsip dan harga diri

Prinsip dan harga diri adalah merupakan terjemahan dari kata-kata Piil Pesenggiri atau Bupiil Bupesenggiri. Baik prinsip maupun harga diri yang dimaksudkan di sini sebenarnya menurut para pengamat adalah merupakan penegasan dari unsur-unsur Piil Pesenggiri yang telah diuraikan terdahulu. Uraian-uraian sebelumnia itulah prinsip masyarakat Lampung dan itu pulalah harga diri.

Setelah diuraikan lengkap dengan butir-butir Piil Pesenggiri maka dapat dilihat adanya unsur yang pokok dalam butir tersebut, yaitu:
1.Prestise
2.Prestasi
3.Kehormatan
4.Menghormati tamu
5.Kerja keras
6.Kerjasama
7.Produktif
8.Persamaan dan daya saing
9.Keuntungan

Kesembilan unsur pokok ini adalah merupakan prinsip pokok Piil Pesenggiri, jadi merupakan falsafah kehidupan masyarakat Lampung.

PRASASTI-PRASASTI YANG ADA DI LAMPUNG

Dalam penelitian Arkeologi dan Sejarah, prasati sering berperan sebagai sumber sejaman yang amat penting, karena memberikan sejumlah informasi mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat lampau. Dari Daerah Lampung sampai saat ini telah ditemukan sembilan buah prasasti yang berasal dari jaman Hindu-Budha, meliputi kurun waktu abad ke 7 sampai abad ke-15. Kesembilan buah prasasti tersebut adalah:

1.Prasasti Palas Pasemah (akhir abad ke 7)

Prasasti ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958, di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan Bahasa Melayu Kuno. Isinya hamper sama dengan isi prasasti Karang Brahi dari Daerah Jambi, Prasasti Kota Kapur dari Bangka dan Prasasti Bungkuk dari Daerah Lampung Timur, yang berisi kutukan yang tidak patuh dan tunduk kepada penguasa Sriwijaya. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan Paleografinya dapat pada akhir abad ke 7.


2.Prasasti Bungkuk (akhir abad ke 7)

Ditemukan pada tahun 1985, di Desa Bungkuk, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur. Prasasti ini seluruhnya terdiri dari 12 dan 13 baris tulisan berhuruf Pallawa dan Melayu Kuno. Keadaanya sudah sangat aus dan rusak, beberapa baris pertama dan terakhir tidak dapat dibaca sama sekali. Dari baris-baris yang dapat dibaca isinya berupa kutukan yang sama dengan yang terdapat pada prasasti Palas Pasemah. Prasasti Karang Brahi dan Prasasti Kota Kapur merupakan Prasasti Sriwijaya dari akhir abad ke-7.

3.Prasasti Batu Bedil (akhir abad ke 9 atau 10)

Prasasti ini di temukan di Desa Batu Bedil Kecamatan Pulau Punggung Kabupaten Tanggamus. Prasasti dipahatkan pada sebuah batu berukuran tinggi 175 cm, lebar 60 cm, dan tebal 45 cm, sebanyak 10 baris dengan huruf Jawa Kuno akhir abad ke 9 atau awal abad ke 10, berbahasa Sansekerta. Prasasti ditulis dengan huruf berukuran cukup besar (tinggi huruf sekitar 5 cm), namun karena batunya sangat using, terutama di bagian tengah maka tidak seluruhnya dapat dibaca. Dari beberapa baris yang dapat diketahui dapat diketahui isinya merupakan semacam doa-doa yang bersifat Budhis.

4.Prasasti Hujunglangit/ Bawang (akhir abad ke 10)

Prasasti ini terdapat di Desa Hanakau, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat. Penemuan pertama kali dilaporkan oleh petugas dinas Topografi yang mengadakan pemetaan pada tahun 1912. Oleh Tim Epigrafi Dunia Purbakala, prasasti ini disebut juga prasasti Bawang, karena tempat penemuannya berada di wilayah Bawang. Prasati ini disebut juga Prasasti Hujunglangit yaitu berdasarkan nama tempat yang disebutkan di dalam prasasti tersebut. Batu prasasti berbentuk menyerupai kerucut dengan ukuran tinggi dari permukaan tanah 160 cm, lebar bawah 65 cm, lebar atas 25 cm. Bagian yang ditulisi prasasti permukaannya hampir rata, terdiri dari 18 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Dari akhir abad ke 10, prasasti ini sudah aus dan tulisannya sangat tipis sehingga sulit untuk pembacaan yang menyeluruh. Berdasarkan asalnya, kata Sa – tanah dan sahutan dengan nama tempat Hujunglangit, dapat member petunjuk bahwa prasasti berkaitan dengan penetapan suatu daerah menjadi sima, daerah perdikan, seperti yang terdapat pada prasasti-prasasti yang ada di zaman Hindu-Budha. Penetapan suatu daerah menjadi sima, umumnya berkenaan dengan adanya suatu bangunan suci yang terdapat di suatu daerah. Di atas bidang yang tertuilis ada gambar pisau belati, ujung belati menghadap ke kanan. Gambar pisau belati ini serupa dengan belati tinggalan kerajaan Pagaruyung yang diberi nama Si Madang Sari. Menurut dinamis, belati dari Pagaruyung ini dibuat pada abad XIV M, jadi sekitar 300 tahun lebih muda dari prasasti Hujunglangit. Relief pisau dijumpai pula pada Candi Panataran, yang bentuknya serupa dengan belati Si Madang Sari.

5.Prasasti Tanjung Raya I (sekitar abad ke 10)

Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.

6.Prasasti Ulubelu (abad ke 14)

Prasasti dipahatkan pada sebuah batu kecil berukuran 36 x 12,5 cm, terdapat 6 baris tulisan dengan huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti ditemukan di Ulebelu, Rebang Pugung, Kabupaten Tanggamus pada tahun 1934. Sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Keadaan prasasti sudah tidak utuh, bagian ujung kiri dan kanan telah patah sehingga beberapa kata dan huruf sebagian hilang. Isinya berkenaan dengan pemujaan terhadap Trimurti (Batara Guru, Batara Brahma, Batara Wisnu). Diperkirakan berasal dari abad ke 14 M.

7.Prasasti Angka Tahun (abad ke 14)

Pada tahun 1993 ketika diadakan eskavasi di Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur ditemukan sebuah prasasti Angka Tahun yang dipahatkan pada sepotong batu tufa berbentuk balok. Prasasti ditulis dengan angka Jawa Kuno, menunjuk pada tahun Saka 1247 (1325 M).

8.Prasasti Dadak / Bataran Guru Tuha (abad ke 15)

Prasasti ditemukan di Dusun Dadak, Desa Tebing, Kecamatan Perwakilan Melintang, Lampung Timur pada tahun 1994. Prasasti ditulis dalam 14 baris tulisan, disamping terdapat pula tulisan-tulisan singkat dan gambar-gambar yang digoreskan memenuhi seluruh permukaan batunya yang berbentuk seperti balok berukuran 42 cm x 11 cm x 9 cm. Tulisan yang digunakan mirip dengan tulisan Jawa Kuno akhir dari abad ke 15 dengan Bahasa Melayu yang tidak terlalu Kuno (Bahasa Melayu Madya).